Kemajuan suatu perusahaan dapat dilihat dari bagaimana perusahaan tersebut mampu menghadapi berbagai kasus yang menimpanya. Dengan adanya kasus tersebut tentu menimbulkan konflik yang terjadi, intern maupun ekstern perusahaan. Sepeti kasus yang menimpa Lapindo Brantas, Inc yakni salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi yang mengakibatkan perusahaan ini mengganti rugi terhadap pihak yang dirugikan akibat dari kegiatan perusahaannya. Kasus ini dikenal dengan Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo. Tragedi lumpu lapindo terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat semburan lumpur panas ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Penyebab terjadinya kasus ini masih belum jelas, namun setidaknya terdapat tiga aspek yang dinilai merupakan penyebab terjadinya kasus ini, yakni sebagai berikut.
- Aspek teknis Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur adalah gempa Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen. Namun, hal tersebut dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta tidak ada hubungan dengan lokasi kejadian lumpur lampindo, yakni Surabaya. Sehingga argumen tersebut lemah dan diperkirakan bukan aspek ini yang menyebabkan terjadinya kasus ini.
- Aspek ekonomis Dalam aspek ini dinilai bahwa Lapindo diduga "sengaja menghemat" biaya operasional pengeboran, yakni dengan tidak memasang casing karena akan bertambah besarnya biaya yang dikeluarkan apabila memasang casing sehingga mengakibatkan lumpur yang berada dalam perut bumi menyembur keluar.
- Aspek Politis Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil dari pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumber daya alam. Oleh karenanya berdasarkan aspek politis ini dinilai bahwa orientasi profit yang menjadikan suatu manajemen korporasi buta dengan kelestarian lingkungan.
Bencana ini telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan sistem sosial masyarakat yang menjadi korban. Akibat bencana ini pula tak dapat dipungkiri konflik bermunculan. Mulai dari konflik yang terbangun antara warga berhadap-hadapan dengan PT Lapindo Brantas yang dianggap sebagai penyebab bencana semburan lumpur tersebut sampai dengan konflik antar sesama korban. Sejak awal semburan lumpur, warga berupaya menyelamatkan dirinya masing-masing, yang seringkali menyebabkan konflik antara mereka yang telah terkena lumpur dan mereka yang akan terkena lumpur. Kemudian ketika pembayaran atau pembelian tanah dan rumah oleh pihak PT Lapindo, konflik antara warga yang rumahnya telah bersertifikat dengan yang belum juga menyeruak ke permukaan. Kecemburuan yang dipicu oleh besaran uang yang diperoleh seringkali juga menimbulkan perpecahan persaudaraan. Hal tersebut diperparah dengan molornya pembayaran tanah/ rumah mereka, dibandingkan dengan mereka yang lebih akhir menjadi korban tapi mendapat penanganan cepat karena adanya dana APBN dari pemerintah dalam penyelesaian pembayarannya.
Penyelesaian konflik-konflik tersebut mampu diselesaikan apabila pihak Lapindo memberikan ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dialami oleh para korban karena dengan adanya bencana tersebut aktivitas masyarakat menjadi lumpuh dan mereka pula kehilangan tempat tinggalnya. Dengan pemberian ganti rugi tersebut juga mampu menunjukkan bahwa pihak Lapindo benar-benar bertanggung jawab atas apa yang terjadi oleh karena perusahaan miliknya. Solusi lain dalam menangani konflik tersebut adalah pihak Lapindo akan membuang lumpur panas langsung ke Kali Porong agar jumlah lumpur pada lokasi kejadian cepat surut, namun solusi tersebut malah menimbulkan konflik. Pembuangan lumpur ke laut maupun sungai dapat mengakibatkan matinya ekosistem tersebut dan dampak lebih parahnya juga dapat mengganggu keselamatan hidup manusia apabila ikan tersebut di konsumsi oleh manusia. Sehingga untuk menangani konflik ini adalah pihak Lapindo membuat waduk buatan yang tidak mengganggu aktivitas dan kelangsungan hidup ekosistem dan manusianya. Konflik antar warga juga dapat terselesaikan dengan baik apabila sesama warga memiliki sikap sabar dan tidak panik, sehingga tidak merusak hubungan tali persaudaraan antar sesama.